SAMARINDA. Pengemis cacat di Kota Samarinda mudah sekali ditemukan. Namun diakui Asisten III Sekretariat Kota (Setkot) Samarinda, Diwansyah, mereka bukanlah warga lokal tetapi pendatang.
"Mereka yang cacat sengaja didatangkan ke Samarinda untuk menjadi ladang penghasilan dari pekerjaan mengemis. Dengan memasang mereka, oknum yang menjadi koordinator akan lebih mudah meraup uang sebanyak-banyaknya," ujar Diwansyah kepada Sapos kemarin siang.
Ia menjelaskan, warga Samarinda yang memiliki kekurangan tersebut sudah diberi keterampilan agar dapat disamakan dengan orang yang bertubuh lengkap pada umumnya. Karena sudah tergabung dalam sebuah organisasi yang disebut Yayasan Kesejahteraan Tuna Rungu Bina Cita Kota Samarinda. "Lihat saja, para penyandang cacat yang berasal dari lokal, mereka memiliki keterampilan yang tak kalah hebat dengan warga umumnya. Bahkan sebagian dari mereka justru telah bekerja dan juga membuka usaha sendiri," katanya.
Sehingga ia menilai, tidak patut bagi warga Samarinda untuk memberikan uang kepada pengemis kendati bertubuh cacat. Dengan tindakan seperti itu sebenarnya bukan menyadarkan atau menjadikan mereka agar mau bekerja. Tapi malah menjadikan kebiasaan malas. "Bagaimana pengemis dari luar tidak berdatangan, kalau memberi uang Rp1.000 per orang. Sedangkan di luar daerah mereka hanya mendapat Rp100. Makanya para koordinatornya memanfaatkan peluang ini," ungkapnya.
Karena itu Pemkot akan lebih maksimal untuk mensosialisasikan kepada masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. Apalagi dalam perda yang baru nantinya, memberi uang kepada pengemis akan didenda Rp25 juta. "Memang ini masih rancangan dan nantinya akan dikaji lagi oleh DPRD. Tapi bersamaan dengan itu, kami akan mensosialisasikan kepada masyarakat agar Kota Samarinda bersih dari sikap mengemis," terangnya.
Keberadaan penyandang cacat maupun yang bertubuh lengkap yang menggantungkan diri hanya untuk mengemis, disebabkan memang adanya aksi koordinator. Pemkot sudah memburu para koordinator dan pemimpin tertinggi dalam kasus sosial ini. "Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Samarinda (Sulaiman Sade), tadi (kemarin, Red) sudah menghadap saya. Disebutkan kalau mereka yang mengeksploitasi pengemis sudah menjadi target operasi Pemkot, dan tidak lama lagi ditangkap," tambahnya.
Sedangkan terkait oknum Pemkot yang terlibat, ia mengaku akan diberi sanksi tegas. "Jika pemeriksaan selesai dan terbukti benar, maka yang bersangkutan minimal akan dimutasi," paparnya.(air)
Rabu, 10 Maret 2010
Pimpinan Tertinggi Pengemis Terendus, Raup " Rp39 Juta Per Bulan
SAMARINDA. Wajar jika selama ini keberadaan pengemis kian marak dan tak kunjung tuntas diselesaikan. Diduga kuat, ada mata rantai yang tak hanya melibatkan koordinator pengemis saja yang membuat para pelakunya begitu kuat. Tapi ada juga oknum Satpol PP dan Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkessos) Kota Samarinda yang ikut bermain di dalamnya.
Dari informasi yang diperoleh media ini menyebutkan, ada ratusan pengemis beroperasi di Kota Samarinda. Mereka mencari uang di sejumlah tempat keramaian seperti persimpangan jalan, masjid, pasar dan rumah ke rumah. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, bahkan malam hari.
Penghasilan mereka sehari rata-rata Rp100 ribu hingga Rp250 ribu. Dari penghasilan itu, mereka harus menyetor dengan pembagian 70 persen untuk koordinatornya dan 30 persen untuk mereka. Makanya ada saja pengemis yang ngotot mencari uang hingga tengah malam dan biasanya mudah ditemui di depan sejumlah tempat hiburan malam (THM) menunggu para pengunjungnya pulang.
Sementara para koordinatornya bertugas sebagai manajernya karena telah menyediakan tempat tinggal dan juga bertanggungjawab atas keamanan mereka selama berada di Kota Samarinda.
Usut diusut, ternyata para manajer itu ternyata juga memiliki atasan. Sebut saja general manager (GM). Pimpinan tertinggi ini, rupanya hanya seorang saja di Kota Samarinda. Ia yang memberikan keamanan kepada para koordinator pengemis agar tidak ditangkap oleh aparat penegak perda yakni Satpol PP Kota Samarinda.
GM itu memberikan syarat, para koordinator harus menyetorkan secara rutin kepadanya setiap bulan Rp150 ribu untuk setiap pengemis. Harga ini baru saja naik. Mulanya hanya Rp100 ribu yang berlaku sudah lebih 5 tahun lalu.
Hitung saja, jika mengambil data Satpol PP bahwa jumlah pengemis di kota ini ada 260 orang, maka total setoran yang diterima GM itu mencapai Rp39 juta per bulan. Bagaimana bisa Si GM memberikan jaminan agar tidak dirazia Satpol PP ?
Ternyata, ia telah menjalin perjanjian dengan seseorang yang kini masih memegang jabatan penting di Satpol PP Kota Samarinda. Oknum aparat ini menjanjikan bagi para koordinator pengemis yang telah membayar kepadanya, maka anggotanya di lapangan akan terlepas dari razia. Karena akan selalu diberikan informasi kalau ada operasi. Namun belum diketahui berapa besaran yang diberikan General Manager kepada Satpol PP itu.
Informasi ini pun dibenarkan salah seorang mantan koordinator pengemis berinisial At. Ia membeberkan, kalau orang yang menjadi General Manager pengemis di Samarinda itu berinisial Ai. Ia disebut-sebut juga beraktivitas di Lokalisasi Solong Durian, Samarinda Utara sebagai mucikari. Karena punya jaminan, Ai kerap menyuruh para koordinator pengemis untuk membawa anggotanya sebanyak-banyaknya ke Kota Samarinda.
"Saya pernah kerja dengan dia (Ai, Red) pada 2004 lalu. Jadi kalau mau tidak kena razia, maka harus menyetor setiap bulan kepadanya Rp100 ribu per orang. Tapi sekarang naik menjadi Rp150 ribu per orang," ujarnya.
Ia menjelaskan dalam aksi itu, Ai hanya bekerja sama dengan oknum Satpol PP Kota Samarinda berinisial Hs. Setoran yang telah dipegang Ai akan diambil oleh Hs setiap sebulan sekali di rumah Ai.
"Tapi kami tidak tahu kepada siapa lagi dia (Hs, Red) menyetorkan uang itu. Tahunya orang Satpol PP itu cuma Hs saja," terangnya.
Dari kerja sama itu, ia menilai sebenarnya oknum Satpol PP tersebut telah dikerjai Ai. "Karena dari penerimaan uang setoran para koordinator pengemis, paling banyak dipegangnya dibandingkan Hs selaku aparat yang menertibkan," ungkapnya.
Terkait oknum aparat yang terlibat dalam pungutan itu ternyata telah diketahui juga oleh Kepala Satpol PP Kota Samarinda Drs HA Rijani SH Msi. Ia mengaku informasi itu pun telah didengar Walikota Samarinda Drs H Achmad Amins MM dan Wakil Walikota H Syaharie Jaang SH Msi.
"Tapi kami harus memastikan dulu keabsahan informasi ini. Jika benar, maka jelas pemeriksaan pun akan diberikan kepada oknum ini," tegasnya.
Rijani menerangkan, dalam aksi itu diduga kuat tidak hanya dilakukan seorang oknum personel tetapi juga melibatkan beberapa oknum personel lainnya. Bahkan, bukan hanya dari institusinya saja, tapi disebutkan juga ada keterlibatan pegawai dari instansi yang terkait dalam penanganan pengemis, yakni Dinkessos Kota Samarinda.
"Kasus ini pun sudah kami selidiki bahkan bersama Poltabes Samarinda," paparnya.
Dari informasi yang diperoleh media ini menyebutkan, ada ratusan pengemis beroperasi di Kota Samarinda. Mereka mencari uang di sejumlah tempat keramaian seperti persimpangan jalan, masjid, pasar dan rumah ke rumah. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, bahkan malam hari.
Penghasilan mereka sehari rata-rata Rp100 ribu hingga Rp250 ribu. Dari penghasilan itu, mereka harus menyetor dengan pembagian 70 persen untuk koordinatornya dan 30 persen untuk mereka. Makanya ada saja pengemis yang ngotot mencari uang hingga tengah malam dan biasanya mudah ditemui di depan sejumlah tempat hiburan malam (THM) menunggu para pengunjungnya pulang.
Sementara para koordinatornya bertugas sebagai manajernya karena telah menyediakan tempat tinggal dan juga bertanggungjawab atas keamanan mereka selama berada di Kota Samarinda.
Usut diusut, ternyata para manajer itu ternyata juga memiliki atasan. Sebut saja general manager (GM). Pimpinan tertinggi ini, rupanya hanya seorang saja di Kota Samarinda. Ia yang memberikan keamanan kepada para koordinator pengemis agar tidak ditangkap oleh aparat penegak perda yakni Satpol PP Kota Samarinda.
GM itu memberikan syarat, para koordinator harus menyetorkan secara rutin kepadanya setiap bulan Rp150 ribu untuk setiap pengemis. Harga ini baru saja naik. Mulanya hanya Rp100 ribu yang berlaku sudah lebih 5 tahun lalu.
Hitung saja, jika mengambil data Satpol PP bahwa jumlah pengemis di kota ini ada 260 orang, maka total setoran yang diterima GM itu mencapai Rp39 juta per bulan. Bagaimana bisa Si GM memberikan jaminan agar tidak dirazia Satpol PP ?
Ternyata, ia telah menjalin perjanjian dengan seseorang yang kini masih memegang jabatan penting di Satpol PP Kota Samarinda. Oknum aparat ini menjanjikan bagi para koordinator pengemis yang telah membayar kepadanya, maka anggotanya di lapangan akan terlepas dari razia. Karena akan selalu diberikan informasi kalau ada operasi. Namun belum diketahui berapa besaran yang diberikan General Manager kepada Satpol PP itu.
Informasi ini pun dibenarkan salah seorang mantan koordinator pengemis berinisial At. Ia membeberkan, kalau orang yang menjadi General Manager pengemis di Samarinda itu berinisial Ai. Ia disebut-sebut juga beraktivitas di Lokalisasi Solong Durian, Samarinda Utara sebagai mucikari. Karena punya jaminan, Ai kerap menyuruh para koordinator pengemis untuk membawa anggotanya sebanyak-banyaknya ke Kota Samarinda.
"Saya pernah kerja dengan dia (Ai, Red) pada 2004 lalu. Jadi kalau mau tidak kena razia, maka harus menyetor setiap bulan kepadanya Rp100 ribu per orang. Tapi sekarang naik menjadi Rp150 ribu per orang," ujarnya.
Ia menjelaskan dalam aksi itu, Ai hanya bekerja sama dengan oknum Satpol PP Kota Samarinda berinisial Hs. Setoran yang telah dipegang Ai akan diambil oleh Hs setiap sebulan sekali di rumah Ai.
"Tapi kami tidak tahu kepada siapa lagi dia (Hs, Red) menyetorkan uang itu. Tahunya orang Satpol PP itu cuma Hs saja," terangnya.
Dari kerja sama itu, ia menilai sebenarnya oknum Satpol PP tersebut telah dikerjai Ai. "Karena dari penerimaan uang setoran para koordinator pengemis, paling banyak dipegangnya dibandingkan Hs selaku aparat yang menertibkan," ungkapnya.
Terkait oknum aparat yang terlibat dalam pungutan itu ternyata telah diketahui juga oleh Kepala Satpol PP Kota Samarinda Drs HA Rijani SH Msi. Ia mengaku informasi itu pun telah didengar Walikota Samarinda Drs H Achmad Amins MM dan Wakil Walikota H Syaharie Jaang SH Msi.
"Tapi kami harus memastikan dulu keabsahan informasi ini. Jika benar, maka jelas pemeriksaan pun akan diberikan kepada oknum ini," tegasnya.
Rijani menerangkan, dalam aksi itu diduga kuat tidak hanya dilakukan seorang oknum personel tetapi juga melibatkan beberapa oknum personel lainnya. Bahkan, bukan hanya dari institusinya saja, tapi disebutkan juga ada keterlibatan pegawai dari instansi yang terkait dalam penanganan pengemis, yakni Dinkessos Kota Samarinda.
"Kasus ini pun sudah kami selidiki bahkan bersama Poltabes Samarinda," paparnya.
Otak Teroris Indonesia Tewas
JAKARTA. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri mendapat tangkapan besar kemarin (9/3). Seorang tokoh teroris yang buron selama bertahun-tahun tewas tertembak di Pamulang, Tangerang, Banten. Tokoh yang menggunakan nama samaran Yahya Ibrahim alias Muktamar itu diduga sebagai Dulmatin.
Perangkai bom utama pada kasus Bom Bali I (2002) itu tewas tertembak tiga peluru personel Densus 88 di warnet Multiplus, Jalan Siliwangi, Pamulang, setelah diburu sejak Minggu (7/3) lalu. Jejak Yahya yang menjadi otak utama pengirim kader dan logistik latihan teroris di Aceh sempat terendus di Pandeglang sehari sebelum operasi di Pamulang.
Kepala Densus 88 Mabes Polri Brigjen Tito Karnavian menegaskan, Yahya merupakan otak latihan militer kelompok militan di Aceh. "Dia biang kerok yang mengirim orang ke Aceh," kata Tito.
Lantas, apakah benar Yahya merupakan samaran Dulmatin? "Yang jelas, dia (Yahya) tokoh besar dan punya nama besar (di kalangan kelompok militan)," kata alumnus Akpol 1987 itu.
Penggerebegan Yahya itu dimulai sejak Selasa subuh. Beberapa personel pendahulu dari Subden Intelijen Densus 88 Mabes Polri sudah membuntuti Yahya dari Pandeglang. Sebelum menuju warnet Multiplus, Yahya sempat mampir di rumah jalan Setiabudi nomor 15.
Setelah Yahya masuk ke Multiplus, tim pendobrak maju merangsek ke dalam. Manajer warnet Rinda Diana, 31, mengatakan saat penggerebekan sekitar pukul 11.10 tiga polisi lengkap dengan penutup wajah dilengkapi senjata laras panjang masuk dan menyuruh untuk tiarap semua yang ada di dalam warnet. "Tiarap semua, ada teroris," kata Rinda menirukan personel Densus itu.
Setelah itu, Rinda mendengar tiga kali letusan. "Seperti petasan, saya tidak berani naik ke lantai dua," kata perempuan berjilbab biru itu. Dulmatin alias Yahya menggunakan bilik nomor sembilan dari 10 bilik yang tersedia.
Menurut Kadivhumas Irjen Edward Aritonang, saat hendak diringkus Yahya melawan. "Dia menembak satu kali dengan revolver berisi enam peluru," katanya. Karena terancam keselamatannya, petugas melumpuhkan Yahya dengan menembak di perut dan paha.
Bekas tembakan dan selongsong peluru ditemukan di tembok lantai dua. Revolver yang digunakan Yahya berjenis Colt berukuran kecil. Revolver itu dipegang dengan tangan kanan. Tim identifikasi dari Puslabfor Mabes Polri dan Inafis (Indonesia Automatic Fingerprints Identification System) langsung mengidentifikasi jenazah. Selain menggunakan data pembanding sidik jari dan mengumpulkan sisa lapisan kulit dan rambut, tim juga mengambil data di komputer yang sedang digunakan Yahya.
Informasi yang dihimpun grup harian ini dari berbagai sumber, sesaat sebelum tewas ditembak, Yahya sempat chatting (berkomunikasi dengan media internet) dengan seseorang berinisial Abu Zakaria. Mereka sempat menyinggung dana operasi Aceh. "Kita akan kirim madu lagi ke Mekkah, antum punya stok berapa," tulis Yahya sebelum meninggal sebagaimana ditirukan sumber Jawa Pos. Madu diduga kode untuk amunisi atau peluru dan Mekkah adalah kode untuk Aceh yang juga sering disebut Serambi Mekkah.
Saat ini, Abu Zakaria yang sedang berkomunikasi itu masih diburu polisi. Abu Zakaria ini diduga kuat adalah salah satu donatur yang mengirimkan suplai dana "Dia bukan orang asing, orang Indonesia, kami duga di Jawa Tengah," katanya. Tadi malam pukul 21.00, satu tim Subden Intelijen 88 telah berada di kota itu.
Penggerebegan Yahya juga melibatkan saksi-saksi mata di sekitar lokasi. Diantaranya sepasang suami istri yang kebetulan sang istri sedang potong rambut di dekat Multiplus. Mereka ikut diinterogasi karena si lelaki ikut berada di ruangan lantai dua Multiplus. Statusnya adalah saksi.
Setelah melumpuhkan Yahya, tim mengejar dua orang pengawalnya ke rumah dr Fauzi di jalan Dr Setiabudi, Gang Asem, RT 03/05, Pamulang Barat, sekitar satu kilometer dari Multiplus. "Mereka berinisial R dan H, mereka juga melawan petugas," kata Kadivhumas Edward Aritonang.
Menurut saksi mata warga setempat, Ade Setiawan, 25, mengatakan, dia melihat kedua pelaku yang membawa tas hitam jatuh dari motor Suzuki Thundernya. Lalu saat ingin ditangkap, pelaku pria yang mengenakan kaos hitam, celana perempat dan menggunakan sandal jepit merogoh pistol dari kantong belakang. Sementara yang dibonceng meraih sesuatu dari dalam tas. "Yang kita takutkan itu tas isinya bom dan meledak," katanya.
Setelah tersangka tewas, tim Gegana dengan mengenakan pakaian tertutup dan helm tertutup berusaha menyisir lokasi dekat kedua jenazah pelaku. Petugas juga menarik tas milik pelaku dengan tali.
Petugas Puslabfor Mabes Polri yang juga datang kelokasi kejadian melakukan penyidikan dilokasi tempat kejadian perkara. Jenazah pelaku kemudian dievakuasi ke RS Polri Kramat Jati untuk di visum. Sementara petugas gabungan juga terus menjaga ketat dan memberikan tanda garis polisi di dua lokasi kejadian karena warga ingin sekali melihat kejadian itu dari jarak dekat.
Setelah itu, lima orang petugas Densus 88 masuk ke rumah berlantai dua yang berpagar warna cokelat itu dengan daun pintu yang sudah terbuka, sedang plafon juga hancur. Beberapa petugas yang menyisir seisi rumah juga nampak menenteng laptop, berbagai CD dan dua kantung plastik berisi buku-buku. Namun Edward Ariotonang memastikan tidak ditemukan senjata api maupun amunisi dan bahan peledak di dalam rumah tersebut. "Yang jelas mereka ini (para teroris yang tertangkap dan mati) merupakan pemasok senjata dan pemasok dana para teroris," tegasnya."
Dua orang pria ditangkap di rumah ini, kedua pria itu, DR alias H dan SB alias I saat digiring keluar rumah hanya mengenakan celana pendek tapa berbaju. Warga sekitar mengatakan kalau rumah itu milik pria beranak tiga bernama dr Fauzi yang sering menggelar pengajian pada setiap Jumat. "Bisa 50-an orang, rata-rata berjubah dan berjenggot lebat, dia muridnya Abu Jibril," kata ketua RT setempat Zaini. Dia mengatakan, kalau dr Fauzi dan istrinya bersama ketiga anaknya sudah diamankan di suatu tempat oleh jajaran Densus 88 Mabes Polri.
Secara terpisah, Abu Jibril, ayah Muhammad Jibril (tersangka peledakan JW Marriott 2009) membenarkan jika dr Fauzi adalah jamaah pengajiannya. "Dia sering datang tiap hari. Tapi aktivitas di luar pengajian saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak mengajarkan terorisme," katanya.
Perangkai bom utama pada kasus Bom Bali I (2002) itu tewas tertembak tiga peluru personel Densus 88 di warnet Multiplus, Jalan Siliwangi, Pamulang, setelah diburu sejak Minggu (7/3) lalu. Jejak Yahya yang menjadi otak utama pengirim kader dan logistik latihan teroris di Aceh sempat terendus di Pandeglang sehari sebelum operasi di Pamulang.
Kepala Densus 88 Mabes Polri Brigjen Tito Karnavian menegaskan, Yahya merupakan otak latihan militer kelompok militan di Aceh. "Dia biang kerok yang mengirim orang ke Aceh," kata Tito.
Lantas, apakah benar Yahya merupakan samaran Dulmatin? "Yang jelas, dia (Yahya) tokoh besar dan punya nama besar (di kalangan kelompok militan)," kata alumnus Akpol 1987 itu.
Penggerebegan Yahya itu dimulai sejak Selasa subuh. Beberapa personel pendahulu dari Subden Intelijen Densus 88 Mabes Polri sudah membuntuti Yahya dari Pandeglang. Sebelum menuju warnet Multiplus, Yahya sempat mampir di rumah jalan Setiabudi nomor 15.
Setelah Yahya masuk ke Multiplus, tim pendobrak maju merangsek ke dalam. Manajer warnet Rinda Diana, 31, mengatakan saat penggerebekan sekitar pukul 11.10 tiga polisi lengkap dengan penutup wajah dilengkapi senjata laras panjang masuk dan menyuruh untuk tiarap semua yang ada di dalam warnet. "Tiarap semua, ada teroris," kata Rinda menirukan personel Densus itu.
Setelah itu, Rinda mendengar tiga kali letusan. "Seperti petasan, saya tidak berani naik ke lantai dua," kata perempuan berjilbab biru itu. Dulmatin alias Yahya menggunakan bilik nomor sembilan dari 10 bilik yang tersedia.
Menurut Kadivhumas Irjen Edward Aritonang, saat hendak diringkus Yahya melawan. "Dia menembak satu kali dengan revolver berisi enam peluru," katanya. Karena terancam keselamatannya, petugas melumpuhkan Yahya dengan menembak di perut dan paha.
Bekas tembakan dan selongsong peluru ditemukan di tembok lantai dua. Revolver yang digunakan Yahya berjenis Colt berukuran kecil. Revolver itu dipegang dengan tangan kanan. Tim identifikasi dari Puslabfor Mabes Polri dan Inafis (Indonesia Automatic Fingerprints Identification System) langsung mengidentifikasi jenazah. Selain menggunakan data pembanding sidik jari dan mengumpulkan sisa lapisan kulit dan rambut, tim juga mengambil data di komputer yang sedang digunakan Yahya.
Informasi yang dihimpun grup harian ini dari berbagai sumber, sesaat sebelum tewas ditembak, Yahya sempat chatting (berkomunikasi dengan media internet) dengan seseorang berinisial Abu Zakaria. Mereka sempat menyinggung dana operasi Aceh. "Kita akan kirim madu lagi ke Mekkah, antum punya stok berapa," tulis Yahya sebelum meninggal sebagaimana ditirukan sumber Jawa Pos. Madu diduga kode untuk amunisi atau peluru dan Mekkah adalah kode untuk Aceh yang juga sering disebut Serambi Mekkah.
Saat ini, Abu Zakaria yang sedang berkomunikasi itu masih diburu polisi. Abu Zakaria ini diduga kuat adalah salah satu donatur yang mengirimkan suplai dana "Dia bukan orang asing, orang Indonesia, kami duga di Jawa Tengah," katanya. Tadi malam pukul 21.00, satu tim Subden Intelijen 88 telah berada di kota itu.
Penggerebegan Yahya juga melibatkan saksi-saksi mata di sekitar lokasi. Diantaranya sepasang suami istri yang kebetulan sang istri sedang potong rambut di dekat Multiplus. Mereka ikut diinterogasi karena si lelaki ikut berada di ruangan lantai dua Multiplus. Statusnya adalah saksi.
Setelah melumpuhkan Yahya, tim mengejar dua orang pengawalnya ke rumah dr Fauzi di jalan Dr Setiabudi, Gang Asem, RT 03/05, Pamulang Barat, sekitar satu kilometer dari Multiplus. "Mereka berinisial R dan H, mereka juga melawan petugas," kata Kadivhumas Edward Aritonang.
Menurut saksi mata warga setempat, Ade Setiawan, 25, mengatakan, dia melihat kedua pelaku yang membawa tas hitam jatuh dari motor Suzuki Thundernya. Lalu saat ingin ditangkap, pelaku pria yang mengenakan kaos hitam, celana perempat dan menggunakan sandal jepit merogoh pistol dari kantong belakang. Sementara yang dibonceng meraih sesuatu dari dalam tas. "Yang kita takutkan itu tas isinya bom dan meledak," katanya.
Setelah tersangka tewas, tim Gegana dengan mengenakan pakaian tertutup dan helm tertutup berusaha menyisir lokasi dekat kedua jenazah pelaku. Petugas juga menarik tas milik pelaku dengan tali.
Petugas Puslabfor Mabes Polri yang juga datang kelokasi kejadian melakukan penyidikan dilokasi tempat kejadian perkara. Jenazah pelaku kemudian dievakuasi ke RS Polri Kramat Jati untuk di visum. Sementara petugas gabungan juga terus menjaga ketat dan memberikan tanda garis polisi di dua lokasi kejadian karena warga ingin sekali melihat kejadian itu dari jarak dekat.
Setelah itu, lima orang petugas Densus 88 masuk ke rumah berlantai dua yang berpagar warna cokelat itu dengan daun pintu yang sudah terbuka, sedang plafon juga hancur. Beberapa petugas yang menyisir seisi rumah juga nampak menenteng laptop, berbagai CD dan dua kantung plastik berisi buku-buku. Namun Edward Ariotonang memastikan tidak ditemukan senjata api maupun amunisi dan bahan peledak di dalam rumah tersebut. "Yang jelas mereka ini (para teroris yang tertangkap dan mati) merupakan pemasok senjata dan pemasok dana para teroris," tegasnya."
Dua orang pria ditangkap di rumah ini, kedua pria itu, DR alias H dan SB alias I saat digiring keluar rumah hanya mengenakan celana pendek tapa berbaju. Warga sekitar mengatakan kalau rumah itu milik pria beranak tiga bernama dr Fauzi yang sering menggelar pengajian pada setiap Jumat. "Bisa 50-an orang, rata-rata berjubah dan berjenggot lebat, dia muridnya Abu Jibril," kata ketua RT setempat Zaini. Dia mengatakan, kalau dr Fauzi dan istrinya bersama ketiga anaknya sudah diamankan di suatu tempat oleh jajaran Densus 88 Mabes Polri.
Secara terpisah, Abu Jibril, ayah Muhammad Jibril (tersangka peledakan JW Marriott 2009) membenarkan jika dr Fauzi adalah jamaah pengajiannya. "Dia sering datang tiap hari. Tapi aktivitas di luar pengajian saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak mengajarkan terorisme," katanya.
Minggu, 28 Februari 2010
Beri Uang ke Pengemis Didenda Rp25 Juta
SAMARINDA. Penuntasan maraknya pengemis yang beroperasi di Kota Samarinda memang sudah diseriusi Pemkot Samarinda. Selain menggelar koordinasi dengan sejumlah instansi terkait, Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkessos) Kota Samarinda kini juga tengah menunggu selesainya penggodokan Perda yang berkaitan larangan mengemis.
Demikian juga pernah disampaikan kepala Dinkessos Kota Samarinda, Sulaiman Sade pada pertengahan tahun lalu bahwa pihaknya akan menerapkan sanksi tidak hanya kepada yang mengemis tapi juga si pemberi uang.
"Sesuai perda itu nantinya, bagi dermawan dilarangan memberikan uang kepada pengemis. Jika ada yang kedapatan memberi, maka akan diberi sanksi berupa denda Rp25 juta. Tapi itu kini masih rancangan perda ya," terangnya.
Sejauh ini, para pengemis yang ada di Kota Samarinda terus berdatangan terutama menjelang Ramadan. Mereka datang dari dari Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Dari catatan, penindakan terhadap pengemis dengan cara dipulangkan ternyata tidak efektif. Lihat saja mereka yang dipulangkan, tahun 2007 lalu ada 192 orang yang dipulangkan ke Jawa Timur. Ironisnya, jumlahnya semakin meningkat pada 2008 lalu, meliputi 190 orang yang dipulangkan ke Jawa Timur, dan 52 ke Sulawesi Selatan.
"Ini karena ulah oknum yang mengkoordinir para pengemis dari luar daerah untuk datang ke Samarinda. Makanya persoalan ini tak juga tuntas," katanya.
Saat ini, pihaknya pun sudah menjalin koordinasi dengan Satpol PP Kota Samarinda dan Dinas Sosial Provinsi Kaltim sebagai langkah penuntasan persoalan pengemis di kota ini.
"Kita harus beri efek jera kepada para pengemis dengan diberi penindakan khusus sebelum dipulangkan. Sedangkan bagi para koordinatornya, tidak ada kata lain mereka harus dipidanakan," tandasnya.
Sedangkan untuk merealisasikan rencana itu, ia mengaku akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. "Yang pasti segera kami laksanakan tapi belum bisa dibeberkan waktunya," paparnya.
Sekadar diketahui, Kepala Satpol PP Kota Samarinda, H Ahmad Rijani SH MSi menyebutkan mengubah pola penindakan terhadap pengemis. Karena menilai tidak akan tuntas jika koordinatornya tidak juga diberangus.
Di Kota Samarinda telah teridentifikasi sebanyak 5 orang preman yang mengkoordinir 260 orang pengemis. Mereka tersebar di beberapa kecamatan. Mereka memiliki 20 hingga 80 orang yang setiap harinya disuruh untuk mencarikan uang dengan cara mengemis yang disebar di ruas jalan, pasar dan sejumlah tempat keramaian lainnya.
Demikian juga pernah disampaikan kepala Dinkessos Kota Samarinda, Sulaiman Sade pada pertengahan tahun lalu bahwa pihaknya akan menerapkan sanksi tidak hanya kepada yang mengemis tapi juga si pemberi uang.
"Sesuai perda itu nantinya, bagi dermawan dilarangan memberikan uang kepada pengemis. Jika ada yang kedapatan memberi, maka akan diberi sanksi berupa denda Rp25 juta. Tapi itu kini masih rancangan perda ya," terangnya.
Sejauh ini, para pengemis yang ada di Kota Samarinda terus berdatangan terutama menjelang Ramadan. Mereka datang dari dari Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Dari catatan, penindakan terhadap pengemis dengan cara dipulangkan ternyata tidak efektif. Lihat saja mereka yang dipulangkan, tahun 2007 lalu ada 192 orang yang dipulangkan ke Jawa Timur. Ironisnya, jumlahnya semakin meningkat pada 2008 lalu, meliputi 190 orang yang dipulangkan ke Jawa Timur, dan 52 ke Sulawesi Selatan.
"Ini karena ulah oknum yang mengkoordinir para pengemis dari luar daerah untuk datang ke Samarinda. Makanya persoalan ini tak juga tuntas," katanya.
Saat ini, pihaknya pun sudah menjalin koordinasi dengan Satpol PP Kota Samarinda dan Dinas Sosial Provinsi Kaltim sebagai langkah penuntasan persoalan pengemis di kota ini.
"Kita harus beri efek jera kepada para pengemis dengan diberi penindakan khusus sebelum dipulangkan. Sedangkan bagi para koordinatornya, tidak ada kata lain mereka harus dipidanakan," tandasnya.
Sedangkan untuk merealisasikan rencana itu, ia mengaku akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. "Yang pasti segera kami laksanakan tapi belum bisa dibeberkan waktunya," paparnya.
Sekadar diketahui, Kepala Satpol PP Kota Samarinda, H Ahmad Rijani SH MSi menyebutkan mengubah pola penindakan terhadap pengemis. Karena menilai tidak akan tuntas jika koordinatornya tidak juga diberangus.
Di Kota Samarinda telah teridentifikasi sebanyak 5 orang preman yang mengkoordinir 260 orang pengemis. Mereka tersebar di beberapa kecamatan. Mereka memiliki 20 hingga 80 orang yang setiap harinya disuruh untuk mencarikan uang dengan cara mengemis yang disebar di ruas jalan, pasar dan sejumlah tempat keramaian lainnya.
Sebanyak 260 Orang Tersebar di Samarinda
SAMARINDA. Wajar kalau pengemis di Kota Samarinda kian marak. Sehingga setiap diamankan ternyata tidak membuat efek jera. Malahan pengemis yang diamankan selalu orang yang sama meski tak sedikit juga yang baru.
Selama ini pola penindakan yang dilakukan Pemkot Samarinda melalui Satpol PP di tahun-tahun sebelumnya, para pengemis dipulangkan ke kampung halaman melalui jalur kapal ke sejumlah daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi. Penyelesaian dengan pemulangan itu ternyata tidak berjalan efektif, karena beberapa bulan kemudian mereka marak lagi beroperasi di Kota Tepian. Padahal untuk menggelar razia mengeluarkan tenaga dan biaya yang besar.
Sejak kepemimpinan Kepala Satpol PP Kota Samarinda, H Ahmad Rijani SH MSi, pola penindakan itu diubah. Karena menilai tidak akan tuntas jika akarnya tidak juga diberangus. "Akar di sini adalah oknum yang mengkoordinir seseorang menjadi pengemis. Mereka bisa disebut preman karena berani mengeksploitasi sesama manusia," tandasnya kepada Sapos.
Menurutnya, dari penyisiran pihaknya, di Kota Samarinda telah teridentifikasi sebanyak 5 orang preman yang melakukan aksi demikian. Mereka tersebar di beberapa kecamatan. Ironisnya, atas aksi masing-masing preman tersebut, ternyata memiliki 20 hingga 80 orang yang setiap harinya disuruh untuk mencarikan uang dengan cara mengemis yang disebar di ruas jalan, pasar dan sejumlah tempat keramaian lainnya.
"Dihitung, jumlah pengemis yang beroperasi di Kota Samarinda dan dikoordinir lima preman tersebut mencapai 260 orang. Makanya setiap pengemisnya ditertibkan, selalu ada saja pengemis lainnya," terangnya.
Akan persoalan itu, ia kemudian berkoordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi Kaltim dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda sejak beberapa pekan lalu. Melalui koordinasi itu, Satpol PP juga telah menyusun sejumlah strategi mengatasi masalah pengemis. Karena alasan itu, maka tudingan kepada institusinya yang dinilai hanya diam saja terhadap maraknya pengemis pun terbantahkan. "Satpol tak diam, tapi hingga kini kami sudah berjalan lebih dulu. Hanya saja pola penindakannya yang berbeda. Bukan dengan cara penertiban seperti biasanya," imbuhnya.
Menurutnya, dalam menuntaskan persoalan kebiasaan pengemis ini, maka harus bisa menyentuh para koordinatornya. Dengan menangkap koordinator, maka dipastikan dapat menuntaskan solusi persoalan ini. "Para koordinator pengemis harus dipidanakan karena mempekerjakan manusia," tegasnya.
Sejauh ini, mereka yang diduga menjadi para koordinator telah diketahui identitasnya. Namun disinggung terkait kapan direalisasikan penangkapan para koordinatornya, ia mengaku belum bisa membeberkan. "Segera dilakukan," tuturnya.
Sedangkan bagi mereka yang menjadi pengemis, nantinya akan dimasukkan ke dalam UPTD Panti Sosial Pemprov Kaltim dan mungkin juga yang dipulangkan. "Mereka akan dikaryakan agar kelak tidak lagi harus mengemis," paparnya. (Sapos)
Selama ini pola penindakan yang dilakukan Pemkot Samarinda melalui Satpol PP di tahun-tahun sebelumnya, para pengemis dipulangkan ke kampung halaman melalui jalur kapal ke sejumlah daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi. Penyelesaian dengan pemulangan itu ternyata tidak berjalan efektif, karena beberapa bulan kemudian mereka marak lagi beroperasi di Kota Tepian. Padahal untuk menggelar razia mengeluarkan tenaga dan biaya yang besar.
Sejak kepemimpinan Kepala Satpol PP Kota Samarinda, H Ahmad Rijani SH MSi, pola penindakan itu diubah. Karena menilai tidak akan tuntas jika akarnya tidak juga diberangus. "Akar di sini adalah oknum yang mengkoordinir seseorang menjadi pengemis. Mereka bisa disebut preman karena berani mengeksploitasi sesama manusia," tandasnya kepada Sapos.
Menurutnya, dari penyisiran pihaknya, di Kota Samarinda telah teridentifikasi sebanyak 5 orang preman yang melakukan aksi demikian. Mereka tersebar di beberapa kecamatan. Ironisnya, atas aksi masing-masing preman tersebut, ternyata memiliki 20 hingga 80 orang yang setiap harinya disuruh untuk mencarikan uang dengan cara mengemis yang disebar di ruas jalan, pasar dan sejumlah tempat keramaian lainnya.
"Dihitung, jumlah pengemis yang beroperasi di Kota Samarinda dan dikoordinir lima preman tersebut mencapai 260 orang. Makanya setiap pengemisnya ditertibkan, selalu ada saja pengemis lainnya," terangnya.
Akan persoalan itu, ia kemudian berkoordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi Kaltim dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda sejak beberapa pekan lalu. Melalui koordinasi itu, Satpol PP juga telah menyusun sejumlah strategi mengatasi masalah pengemis. Karena alasan itu, maka tudingan kepada institusinya yang dinilai hanya diam saja terhadap maraknya pengemis pun terbantahkan. "Satpol tak diam, tapi hingga kini kami sudah berjalan lebih dulu. Hanya saja pola penindakannya yang berbeda. Bukan dengan cara penertiban seperti biasanya," imbuhnya.
Menurutnya, dalam menuntaskan persoalan kebiasaan pengemis ini, maka harus bisa menyentuh para koordinatornya. Dengan menangkap koordinator, maka dipastikan dapat menuntaskan solusi persoalan ini. "Para koordinator pengemis harus dipidanakan karena mempekerjakan manusia," tegasnya.
Sejauh ini, mereka yang diduga menjadi para koordinator telah diketahui identitasnya. Namun disinggung terkait kapan direalisasikan penangkapan para koordinatornya, ia mengaku belum bisa membeberkan. "Segera dilakukan," tuturnya.
Sedangkan bagi mereka yang menjadi pengemis, nantinya akan dimasukkan ke dalam UPTD Panti Sosial Pemprov Kaltim dan mungkin juga yang dipulangkan. "Mereka akan dikaryakan agar kelak tidak lagi harus mengemis," paparnya. (Sapos)
Senin, 22 Februari 2010
"dr Poch 'Hitler' Masuk Islam"
ADOLF HITLER, diktator Jerman dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas pembantaian bangsa Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di Indonesia -- sebagai dr Poch, dokter tua asal Jerman.
Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.
Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.
"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.
dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.
Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.
Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.
Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.
Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman
Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.
Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.
Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."
Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.
Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.
Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.
Baca tulisan sebelumnya:
1. Hitler Dimakamkan di Surabaya?
2. Kesaksian Pasien dr Poch "Hitler"
Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.
Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.
"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.
dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.
Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.
Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.
Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.
Ada juga buku catatan berisi nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman
Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.
Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar.
Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."
Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.
Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.
Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.
Baca tulisan sebelumnya:
1. Hitler Dimakamkan di Surabaya?
2. Kesaksian Pasien dr Poch "Hitler"
Kesaksian Mantan Pasien Dokter Poch 'Hitler'
DIKTATOR Jerman, Adolf Hitler dikabarkan meninggal di Indonesia, tepatnya di Surabaya, Jawa Timur.
Sebelum ke Surabaya, Hitler diduga menyaru sebagai Poch, seorang dokter yang pernah bertugas di Sumbawa Besar.
Seperti dikutip dari VIVAnews, soal kebenaran cerita ini diawali dari Sumbawa. Seorang saksi, bernama Ahmad Zuhri Muhtar mengaku memang ada dokter bernama Poch yang bekerja di Rumah Sakit Umum Sumbawa. Poch juga berpraktek di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang saat ini menjadi Puskesmas Seketeng.
"Kebetulan Puskesmas itu ada di dekat rumah," kata Ahmad ketika dihubungi VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ahmad mengaku saat duduk di kelas 1 atau 2 Sekolah Dasar, dia menjadi pasien dokter Poch.
"Saya sering diperiksa. Waktu itu perasaan saya takut. Gayanya kayak gitu bukan gaya dokter. Itu ingatan saya waktu masih kecil," kata dia.
Dokter Poch yang dia kenal nampak garang. "Kalau dikatakan galak, nggak juga. Bahasa Indonesianya pas-pasan, dan ada gaya-gaya menggertak," kata dia.
Ahmad menceritakan ciri-ciri dr Poch yang dia kenal. "Kepala botak, kumis tebal merah jagung. Dia juga memakai kaca mata," kata dia.
Poch juga agak pincang. "Mobilnya Jeep kap terbuka, seperti buatan Jerman. Kalau menyetir dengan satu tangan, gaya geng-geng begitu," tambah Ahmad.
Pria kelahiran 1955 itu menceritakan Poch datang menumpang kapal asing 'Hope'. Kapal itu membawa obat-obatan dan menyediakan pengobatan gratis.
"Saya ingat, para penumpang dan kru-kru kapal dibawa turun melihat karapan kerbau di dekat rumah saya. dr Poch juga ada di komunitas itu," tambah dia.
Terkait informasi yang menyatakan Poch adalah Hitler, Ahmad mengaku tak tahu pasti. Meski, dia mengakui ada kemiripan Poch dengan foto Hilter yang dia lihat di sejumlah media dan buku.
Kata Ahmad, harus ada kajian yang lebih ilmiah. Bagaimanapun, Hitler adalah sosok besar dalam sejarah yang layak diungkap kehidupannya.
"Saat ini soal Hitler seakan terabaikan. Padahal kalau mau menguak kisah ini sudah ada pintu masuknya, dokter Poch di Sumbawa besar dan makamnya di Ngagel," kata Ahmad.
***
Spekulasi bahwa Hitler meninggal di usia tua di Surabaya, Indonesia diawali artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama 'Hope' di Sumbawa Besar.
Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler.
Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal --- dia selalu menyeret kaki kirinya ketika berjalan.
Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.
Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.
Menurut Sosrohusodo, dokter asal Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan.
Poch diketahui meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah Ngagel.
Namun, fakta di mana 'sang Fuhrer' menghabiskan akhir hayatnya belum bisa dipastikan sampai saat ini. Ada yang yakin Hitler tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945.
Ada juga versi lain, bahwa pemimpin NAZI ini meninggal di Argentina, Brazil, atau sebuah tempat di Amerika Selatan.
Sebelum ke Surabaya, Hitler diduga menyaru sebagai Poch, seorang dokter yang pernah bertugas di Sumbawa Besar.
Seperti dikutip dari VIVAnews, soal kebenaran cerita ini diawali dari Sumbawa. Seorang saksi, bernama Ahmad Zuhri Muhtar mengaku memang ada dokter bernama Poch yang bekerja di Rumah Sakit Umum Sumbawa. Poch juga berpraktek di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang saat ini menjadi Puskesmas Seketeng.
"Kebetulan Puskesmas itu ada di dekat rumah," kata Ahmad ketika dihubungi VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ahmad mengaku saat duduk di kelas 1 atau 2 Sekolah Dasar, dia menjadi pasien dokter Poch.
"Saya sering diperiksa. Waktu itu perasaan saya takut. Gayanya kayak gitu bukan gaya dokter. Itu ingatan saya waktu masih kecil," kata dia.
Dokter Poch yang dia kenal nampak garang. "Kalau dikatakan galak, nggak juga. Bahasa Indonesianya pas-pasan, dan ada gaya-gaya menggertak," kata dia.
Ahmad menceritakan ciri-ciri dr Poch yang dia kenal. "Kepala botak, kumis tebal merah jagung. Dia juga memakai kaca mata," kata dia.
Poch juga agak pincang. "Mobilnya Jeep kap terbuka, seperti buatan Jerman. Kalau menyetir dengan satu tangan, gaya geng-geng begitu," tambah Ahmad.
Pria kelahiran 1955 itu menceritakan Poch datang menumpang kapal asing 'Hope'. Kapal itu membawa obat-obatan dan menyediakan pengobatan gratis.
"Saya ingat, para penumpang dan kru-kru kapal dibawa turun melihat karapan kerbau di dekat rumah saya. dr Poch juga ada di komunitas itu," tambah dia.
Terkait informasi yang menyatakan Poch adalah Hitler, Ahmad mengaku tak tahu pasti. Meski, dia mengakui ada kemiripan Poch dengan foto Hilter yang dia lihat di sejumlah media dan buku.
Kata Ahmad, harus ada kajian yang lebih ilmiah. Bagaimanapun, Hitler adalah sosok besar dalam sejarah yang layak diungkap kehidupannya.
"Saat ini soal Hitler seakan terabaikan. Padahal kalau mau menguak kisah ini sudah ada pintu masuknya, dokter Poch di Sumbawa besar dan makamnya di Ngagel," kata Ahmad.
***
Spekulasi bahwa Hitler meninggal di usia tua di Surabaya, Indonesia diawali artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama 'Hope' di Sumbawa Besar.
Kata Sosrohusodo, Poch, dokter tua Jerman yang dia temui di Sumbawa adalah Hitler.
Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal --- dia selalu menyeret kaki kirinya ketika berjalan.
Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.
Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.
Menurut Sosrohusodo, dokter asal Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang kesehatan.
Poch diketahui meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah Ngagel.
Namun, fakta di mana 'sang Fuhrer' menghabiskan akhir hayatnya belum bisa dipastikan sampai saat ini. Ada yang yakin Hitler tewas bunuh diri di sebuah bunker di Berlin pada 30 April 1945.
Ada juga versi lain, bahwa pemimpin NAZI ini meninggal di Argentina, Brazil, atau sebuah tempat di Amerika Selatan.
Langganan:
Postingan (Atom)